Pendidikan inklusif seharusnya menjadi jembatan bagi semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, agar bisa mengakses pembelajaran yang setara dan bermartabat. Namun, ironinya, di beberapa tempat justru terjadi penggusuran terhadap Sekolah Luar Biasa (SLB)—satu-satunya tempat belajar yang dirancang sesuai dengan kebutuhan mereka. Di tengah gencarnya wacana inklusif, muncul pertanyaan besar: apakah benar sudah ada solusi yang layak jika SLB digusur?
Ketika Inklusi Tak Berjalan Seiring dengan Realita
SLB hadir bukan sekadar sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai ruang aman dan terstruktur bagi anak-anak dengan disabilitas. Mereka belajar dengan pendekatan khusus, fasilitas yang mendukung, serta guru yang memahami karakter tiap anak. Ketika SLB digusur, bukan hanya gedung yang hilang, tapi juga harapan dan akses belajar yang sesuai kebutuhan mereka.
Baca juga: Miris! Anak-anak Difabel Ditinggalkan dalam Sistem yang Tak Ramah
Ironi ini menjadi semakin dalam jika belum ada fasilitas pengganti yang benar-benar mampu memenuhi kebutuhan mereka. Banyak sekolah umum belum siap secara sumber daya maupun infrastruktur untuk benar-benar menjadi inklusif.
-
Ketiadaan Ruang Belajar Alternatif yang Setara
Gedung SLB yang digusur sering kali tidak diimbangi dengan penyediaan tempat baru yang memadai -
Ketidaksiapan Sekolah Reguler
Banyak sekolah umum belum memiliki guru terlatih maupun kurikulum adaptif untuk menyambut siswa difabel -
Minimnya Partisipasi Komunitas
Keputusan penggusuran kerap terjadi tanpa mendengarkan suara dari orang tua, siswa, dan aktivis pendidikan -
Ketimpangan Akses Pendidikan
Siswa dengan kebutuhan khusus jadi terpaksa tidak sekolah atau harus menempuh jarak jauh ke tempat baru -
Konflik antara Kebijakan dan Implementasi
Wacana pendidikan inklusif sering kali tidak disertai kebijakan yang konkret dan anggaran yang cukup
Ironi ini menyiratkan bahwa pendidikan inklusif belum benar-benar dipahami sebagai hak dasar, melainkan sekadar wacana. Jika SLB digusur tanpa solusi konkret, maka inklusi hanya tinggal slogan. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan nyata—dalam bentuk kebijakan, anggaran, pelatihan guru, dan penguatan fasilitas—agar anak-anak dengan kebutuhan khusus tidak lagi dipinggirkan dalam sistem pendidikan kita